Minggu, 14 April 2013

Awalnya...


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia pernah memiliki sistem pemerintahan berupa demokrasi parlementer serta demokrasi terpimpin. Demokrasi parlementer terjadi selama tujuh masa kabinet yang berbeda, pada masa-masa tersebut kinerja kabinet sering mengalami deadlock (situasi antar dua pihak atau lebih, saling tunggu-menunggu dalam menyelesaikan suatu masalah, sehingga masalah tersebut tidak terselesaikan) dan ditentang oleh parlemen. Demokrasi terpimpin dimulai pada tanggal 6 Juli 1959 sampai dengan tanggal 1 Maret 1966.
Demokrasi parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peran penting dalam pemerintahan. Parlemen memiliki peran penting seperti memiliki hak/wewenang untuk mengangkat dan menurunkun perdana menteri, selain itu parlemen juga dapat menjatuhkan pemerintahan dengan cara mengeluatkan suatu mosi tidak percaya.
Demokrasi terpimpin adalah istilah untuk sebuah pemerintahan demokrasi dengan peningkatan otokrasi (suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipimpin oleh satu orang, seperti raja). Pemerintahan negara dilegitimasi oleh pemilihan umum yang meskipun bebas dan adil digunakan oleh pemerintah untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan dan tujuan yang sama. Dengan kata lain, pemerintah belajar mengendalikan pemilihan umum, sehingga pemilih dapat melaksanakan semua hak-haknya tanpa banyak mengubah atau mempengaruhi kebijakan umum yang telah diputuskan.
Kedua sistem pemerintahan yang pernah dianut Indonesia, sistem demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin mempengaruhi kondisi politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan Indonesia, seperti halnya dalam bidang kebudayaan munculnya organisasi-organisasi kewanitaan di Indonesia. Berdasarkan kondisi tersebut penulis menulis makalah untuk membandingkan kondisi politik dan ekonomi pada masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.

1.2. Rumusan Masalah
Penulis merumuskan beberapa masalah yang berhubungan dengan masalah yang ditulisnya. Adapun masalah yang telah dirumuskan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1.      Apa perbedaan antara sistem pemerintahan demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin?
2.      Apa perbedaan kondisi politik di Indonesia saat masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin?
3.      Apa perbedaan kondisi ekonomi di Indonesia saat masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin?

1.3. Batasan Masalah
Keterbatasan waktu dan pengetahuan membuat penulis menghadapi kesulitan, sehingga penulis membatasai masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini. Masalah-masalah yang akan dibahas antara lain:
1.      Apa perbedaan kondisi politik di Indonesia saat masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin?
2.      Apa perbedaan kondisi ekonomi di Indonesia saat masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin?

1.4. Tujuan Penulisan
Makalah yang ditulis oleh penulis memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis antara lain:
1.      Mengetahui perbedaan kondisi politik di Indonesia saat masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.
2.      Mengetahui perbedaan kondisi ekonomi di Indonesia saat masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.

1.5.Manfaat Penulisan
Makalah yang ditulis oleh penulis memiliki beberapa manfaat yang dapat dirasakan oleh para pembaca, seperti pelajar dan pemerintah. Adapun manfaat yang dapat diterima oleh para pembaca dari makalah ini yaitu:
1.      Mengetahui sejarah sistem pemerintahan Indonesia.
2.      Mengetahui kelebihan serta kekurangan tiap sistem pemerintahan, sehingga dapat menghindari kesalahan yang sama.
3.      Mengetahui sistem pemerintahan yang lebih sesuai dengan kondisi dan kebudayaan Indonesia.

Lalu...



BAB II
PEMBAHASAN

 Indonesia pernah menerapkan beberapa sistem pemerintahan, dua diantaranya adalah sistem pemerintahan demokrasi parlementer serta demokrasi terpimpin. Sistem pemerintahan demokrasi parlementer atau yang juga disebut sebagai demokrasi liberal terjadi selama tujuh masa kabinet yang berbeda, dimulai pada tahun 1950, tepatnya pada tanggal 6 September 1950 pada masa kabinet Natsir sampai dengan pertengahan tahun 1559, 10 Juli 1959 pada masa kabinet Djuanda atau yang uga dikenal sebagai Kabinet karya).
Demokrasi terpimpin/demokrasi presidensial dimulai pada tanggal 6 Juli 1959 sampai dengan tanggal 1 Maret 1966. Demokrasi terpimpin dimulai sejak Dektrit Presisden tanggal 9 Juli 1959 diumumkan oleh presiden Soekarno. Dektrit Presiden 9 Juli 1959 berisikan:
1.      Pembubaran Konstituante.
2.      Tidak berlakunya UUDS 1950, dan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai UUD resmi Negara Repubik Indonesia.
3.      Pembentukan MPRS dan DPAS dalam tempo secepatnya.

Pemberlakuan Dektrit Presiden 9 Juli 1959 menandakan berakhirnya sistem demokrasi parlementer dan digantikan dengan sistem demokrasi presidensial. Selain itu, Dektrit Presiden 9 Juli 1959 juga menandakan berakhirnya tugas konstituante selama tiga tahun gagal merancang UUD yang baru untuk menggantikan UUDS.
Kondisi politik di Indonesia pada masa demokrasi parlementer tidaklah stabil, pertentangan dan pemberontakan banyak terjadi. Hal ini disebabkan jumlah partai politik dengan idealisme yang berbeda semakin banyak, sehingga menimbulkan faksi-faksi pada pemerintahan. Kondisi politik yang tidak stabil dapat dilihat dari hasil kerja kabinet yang tidak maksimal, contohnya pada masa kabinet Natsir yang memiliki lima program kerja dan yang tercapai hanya dua, yaitu meningkatkan keamanan dan ketertiban dengan tergabungnya Indonesia dalam PBB dan memetakan politik luar negeri yang bebas aktif, serta memperjuangkan wilayah Irian Barat dengan cara berunding dengan Belanda. Pada tiap kabinet program kerja yang selau ada dan tidak pernah tercapai adalah program untuk memperjuangkan pembebasan Irian Barat. Selain kondisi politik yang tidak stabil, kondisi di dalam konstituante juga tidak mendukung tercapainya kesepakatan dalam membuat Undang-Undang Dasar yang baru. Ketidaksepakatan di dalam konstituante terjadi karena ada tiga kubu yang memiliki pendapat yang memiliki berten-tangan, ketiga pilar yang ada di dalam badan konstituante antara lain partai Islam (Nadratul Ulama/NU), partai Nasionalis (Partai Nasionalis Indonesia/PNI), dan partai Komunis (Partai Komunis Indonesia/PKI).
Kondisi ekonomi di Indonesia pada masa demokrasi parlementer sempat mengalami beberapa perubahan kebijakan. Perubahan kebijakan dimulai pada masa Kabinet Sukiman. Perubahan yang dilakukan ialah menasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, membentuk Bank Negara Indonesia (BNI), memberlakukan Oeang Repoeblik Indonesia atau yang disebut ORI, serta mengajak rakyat Indonesia untuk menabung di bank. Keputusan-keputusan yang diambil memberikan dampak yang baik dan meningkatkan dan memperlancar kondisi perekonomian negara. Selain kebijakan di atas, pada masa Kabinet Ali II, presiden Soekarno menandatangani UU Pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 3 Mei 1956 dan mengakibatkan seluruh perusahaan Belanda berpindah ke tangan pengusaha nonpribumi (tionghoa), sayangnya berdampak pada munculnya kondisi sosial yang timpang. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tanggal 19 Maret 1956 dikeluarkan sebuah kebijakan yang dinamakan Gerakan Assaat oleh Kongres Nasional Importir Indonesia. Gerakan Assaat mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan untuk melindungi pengusaha pribumi.
Pada masa demokrasi terpimpin, kondisi politik menjadi lebih terkontrol. Pembubaran kabinet digantikan dengan Kabinet Ketja, dengan presiden Soekarno sebagai perdana menteri dan Ir. Djuanda sebagai wakilnya. Sistem kabinet yang sebelumya menganut sistem kabinet parlementer menjadi sistem kabinet presidensial. Program kerja kabinet yang disusun oleh presiden Soekarno meliputi keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan peningkatan produksi sandang pangan. Presiden juga menetapkan bahwa semua lembaga negara harus berasal dari aliran NASAKOM (nasionalis, agama, dan komunis) dan anggota MPRS (Majelis Perwakilan Rakyat Sementara) akan ditunjuk dan diangkat oleh presiden Soekarno dengan syarat orag tersebut menyetujui kembali UUD 1945, menyetujui perjuanganan Republik Indonesia, dan menyetujui Manifesto Politik. Selain membentu MPRS, presiden Soekarno juga membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Dewan Perancangan Nasional (DEPERNAS), dan Front Nasional. Pada upacara Peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 1959, Soekarno mengucapkan pidatinya yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang berisikan penjelasan dan pertanggungjawaban atas Dektrit Presiden 5 Juli 1959 serta garis kebijaksanaan presiden Soekarno dalam mencanangkan demokrasi terpimpin. Pada September 1959, DPA dalam sidangnya menyarankan presiden Soekarno untuk menjadikan pidato “Penemuan Kembali Revolusi Kita” sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan nama Manifesto Politik Republik Indonesia (MANIPOL) dan MANIPOL ditetapkan sebagai GBHN pada tahun 1960. Pada 6 Maret 1960, MPR hasil Pemilu tahun 1955 dibubarkan dan digantikan dengan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang dibentuk pada tanggal 24 Juni 1960. Tugas DPR-GR adalah melaksanakan MANIPOL dan merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA). Beberapa kebijakan Seokarno yang memiliki tujuan yang mulia pada akhirnya menyerang dan menjatuhkan kondisi politik Indonesia, contohnya kebijakan NASAKOM yang bertujuan untuk menyatukan seluruh lembaga negara dijadikan PKI sebagai salah satu jalan untuk mengambil alih kekuasaan Indonesia.
Kondisi ekonomi pada masa demokrasi terpimpin menurun. Hal ini disebabkan diberlakukannya “Sistem Lisensi” yang mengharuskan seseorang memiliki/mendapatkan lisensi atau izin khususi pemerintah untuk melaksanakan kegiatan perekonomian, terutama impor. Pada tanggal 23 Maret 1963, Soekarno mengumumkan Deklarasi Ekomoni atau yang juga dikenal sebagai DEKON untuk membuat peraturan mengenai ekspor-impor dan masalah penetapan harga, sayangnya DEKON tidak berdampak banyak. Keadaan ekonomi di Indonesia semakin memburuk sehingga terjadi inflasi yang sangat tinggi pada tahun 1959, sehingga dikeluarkan beberapa kebijakan ekonomi seperti devaluasi pecahan mata uang rupiah Rp. 1000 menjadi Rp. 100 dan Rp. 500 menjadi Rp. 50; membekukan simpanan uang di bank seluruh Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia terus menurun, hal ini disebabkan oleh banyak faktor salah satu yang paling mempengaruhi adalah diberlakukan beberapa kebijakan yang didasarkan pada kebijakan-kebijakan presiden dan kebijakan yang didasari oleh undang-undang. Kondisi perekonomian Indonesia terus mengalami kemunduran hingga tahun 1966.

Akhirnya...

BAB III
PENUTUP

1.1. Kesimpulan
Berdasarkan kondisi politik Indonesia pada masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin, kondisi politik pada masa demokrasi terpimpin lebih stabil. Hal ini dapat disebabkan pertukaran pejabat lebih sedikit, sehingga para pejabat mendapat kesempatan serta waktu yang cukup untuk melaksanakan program kerja yang telah direncanakan.
Hasil yang berbeda didapatkan dari sisi ekonomi. Pada masa demokrasi parlementer kondisi ekonomi lebih stabil dibanding kondisi ekonomi pada masa demokrasi terpinpin. Hal ini dapat disebabkan perkembangan para pengusaha terhambat, karena harus memiliki lisensi sebelum dapat menjalankan kegiatan perekonomian ketika “Sistem Lisensi” dilangsungkan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi politik Indonesia pada masa demokrasi terpimpin lebih baik dan stabil, karena kegiatan kepolitikan dapat diawasi secara langsung dan tidak terjadi banyak perubahan dalam kabinet yang berlaku, sedangkan kondisi perekonomian pada masa demokrasi parlementer lebih baik dan stabil, sebab demokrasi parlementer menganut sistem liberal yang memberikan kebebasan dan kesempatan bagi para pengusaha untuk mengembangkan kreativitas dan persaingan yang memacu berkembangnya perekonomian suatu negara.

1.2. Saran
Saran yang dapat penulis berikan bagi pemerintah ialah memberikan kesempatan yang sama bagi tiap lapisan masyarakat untuk mengembangkan potensinya dalam berbagai hal, teutama dalam bidang kewirausahaan, sehingga dapat meningkatkan kondisi perekonomian. Pemerintah juga memberikan perhatian dan disiplin yang lebih kepada para pejabat pemerintahan, sehingga jumlah penyimpangan maupun pelanggaran yang dilakukan oleh para pejabat, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme berkurang bahkan menghilang.