Minggu, 14 April 2013

Lalu...



BAB II
PEMBAHASAN

 Indonesia pernah menerapkan beberapa sistem pemerintahan, dua diantaranya adalah sistem pemerintahan demokrasi parlementer serta demokrasi terpimpin. Sistem pemerintahan demokrasi parlementer atau yang juga disebut sebagai demokrasi liberal terjadi selama tujuh masa kabinet yang berbeda, dimulai pada tahun 1950, tepatnya pada tanggal 6 September 1950 pada masa kabinet Natsir sampai dengan pertengahan tahun 1559, 10 Juli 1959 pada masa kabinet Djuanda atau yang uga dikenal sebagai Kabinet karya).
Demokrasi terpimpin/demokrasi presidensial dimulai pada tanggal 6 Juli 1959 sampai dengan tanggal 1 Maret 1966. Demokrasi terpimpin dimulai sejak Dektrit Presisden tanggal 9 Juli 1959 diumumkan oleh presiden Soekarno. Dektrit Presiden 9 Juli 1959 berisikan:
1.      Pembubaran Konstituante.
2.      Tidak berlakunya UUDS 1950, dan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai UUD resmi Negara Repubik Indonesia.
3.      Pembentukan MPRS dan DPAS dalam tempo secepatnya.

Pemberlakuan Dektrit Presiden 9 Juli 1959 menandakan berakhirnya sistem demokrasi parlementer dan digantikan dengan sistem demokrasi presidensial. Selain itu, Dektrit Presiden 9 Juli 1959 juga menandakan berakhirnya tugas konstituante selama tiga tahun gagal merancang UUD yang baru untuk menggantikan UUDS.
Kondisi politik di Indonesia pada masa demokrasi parlementer tidaklah stabil, pertentangan dan pemberontakan banyak terjadi. Hal ini disebabkan jumlah partai politik dengan idealisme yang berbeda semakin banyak, sehingga menimbulkan faksi-faksi pada pemerintahan. Kondisi politik yang tidak stabil dapat dilihat dari hasil kerja kabinet yang tidak maksimal, contohnya pada masa kabinet Natsir yang memiliki lima program kerja dan yang tercapai hanya dua, yaitu meningkatkan keamanan dan ketertiban dengan tergabungnya Indonesia dalam PBB dan memetakan politik luar negeri yang bebas aktif, serta memperjuangkan wilayah Irian Barat dengan cara berunding dengan Belanda. Pada tiap kabinet program kerja yang selau ada dan tidak pernah tercapai adalah program untuk memperjuangkan pembebasan Irian Barat. Selain kondisi politik yang tidak stabil, kondisi di dalam konstituante juga tidak mendukung tercapainya kesepakatan dalam membuat Undang-Undang Dasar yang baru. Ketidaksepakatan di dalam konstituante terjadi karena ada tiga kubu yang memiliki pendapat yang memiliki berten-tangan, ketiga pilar yang ada di dalam badan konstituante antara lain partai Islam (Nadratul Ulama/NU), partai Nasionalis (Partai Nasionalis Indonesia/PNI), dan partai Komunis (Partai Komunis Indonesia/PKI).
Kondisi ekonomi di Indonesia pada masa demokrasi parlementer sempat mengalami beberapa perubahan kebijakan. Perubahan kebijakan dimulai pada masa Kabinet Sukiman. Perubahan yang dilakukan ialah menasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, membentuk Bank Negara Indonesia (BNI), memberlakukan Oeang Repoeblik Indonesia atau yang disebut ORI, serta mengajak rakyat Indonesia untuk menabung di bank. Keputusan-keputusan yang diambil memberikan dampak yang baik dan meningkatkan dan memperlancar kondisi perekonomian negara. Selain kebijakan di atas, pada masa Kabinet Ali II, presiden Soekarno menandatangani UU Pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 3 Mei 1956 dan mengakibatkan seluruh perusahaan Belanda berpindah ke tangan pengusaha nonpribumi (tionghoa), sayangnya berdampak pada munculnya kondisi sosial yang timpang. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tanggal 19 Maret 1956 dikeluarkan sebuah kebijakan yang dinamakan Gerakan Assaat oleh Kongres Nasional Importir Indonesia. Gerakan Assaat mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan untuk melindungi pengusaha pribumi.
Pada masa demokrasi terpimpin, kondisi politik menjadi lebih terkontrol. Pembubaran kabinet digantikan dengan Kabinet Ketja, dengan presiden Soekarno sebagai perdana menteri dan Ir. Djuanda sebagai wakilnya. Sistem kabinet yang sebelumya menganut sistem kabinet parlementer menjadi sistem kabinet presidensial. Program kerja kabinet yang disusun oleh presiden Soekarno meliputi keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan peningkatan produksi sandang pangan. Presiden juga menetapkan bahwa semua lembaga negara harus berasal dari aliran NASAKOM (nasionalis, agama, dan komunis) dan anggota MPRS (Majelis Perwakilan Rakyat Sementara) akan ditunjuk dan diangkat oleh presiden Soekarno dengan syarat orag tersebut menyetujui kembali UUD 1945, menyetujui perjuanganan Republik Indonesia, dan menyetujui Manifesto Politik. Selain membentu MPRS, presiden Soekarno juga membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Dewan Perancangan Nasional (DEPERNAS), dan Front Nasional. Pada upacara Peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 1959, Soekarno mengucapkan pidatinya yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang berisikan penjelasan dan pertanggungjawaban atas Dektrit Presiden 5 Juli 1959 serta garis kebijaksanaan presiden Soekarno dalam mencanangkan demokrasi terpimpin. Pada September 1959, DPA dalam sidangnya menyarankan presiden Soekarno untuk menjadikan pidato “Penemuan Kembali Revolusi Kita” sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan nama Manifesto Politik Republik Indonesia (MANIPOL) dan MANIPOL ditetapkan sebagai GBHN pada tahun 1960. Pada 6 Maret 1960, MPR hasil Pemilu tahun 1955 dibubarkan dan digantikan dengan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang dibentuk pada tanggal 24 Juni 1960. Tugas DPR-GR adalah melaksanakan MANIPOL dan merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA). Beberapa kebijakan Seokarno yang memiliki tujuan yang mulia pada akhirnya menyerang dan menjatuhkan kondisi politik Indonesia, contohnya kebijakan NASAKOM yang bertujuan untuk menyatukan seluruh lembaga negara dijadikan PKI sebagai salah satu jalan untuk mengambil alih kekuasaan Indonesia.
Kondisi ekonomi pada masa demokrasi terpimpin menurun. Hal ini disebabkan diberlakukannya “Sistem Lisensi” yang mengharuskan seseorang memiliki/mendapatkan lisensi atau izin khususi pemerintah untuk melaksanakan kegiatan perekonomian, terutama impor. Pada tanggal 23 Maret 1963, Soekarno mengumumkan Deklarasi Ekomoni atau yang juga dikenal sebagai DEKON untuk membuat peraturan mengenai ekspor-impor dan masalah penetapan harga, sayangnya DEKON tidak berdampak banyak. Keadaan ekonomi di Indonesia semakin memburuk sehingga terjadi inflasi yang sangat tinggi pada tahun 1959, sehingga dikeluarkan beberapa kebijakan ekonomi seperti devaluasi pecahan mata uang rupiah Rp. 1000 menjadi Rp. 100 dan Rp. 500 menjadi Rp. 50; membekukan simpanan uang di bank seluruh Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia terus menurun, hal ini disebabkan oleh banyak faktor salah satu yang paling mempengaruhi adalah diberlakukan beberapa kebijakan yang didasarkan pada kebijakan-kebijakan presiden dan kebijakan yang didasari oleh undang-undang. Kondisi perekonomian Indonesia terus mengalami kemunduran hingga tahun 1966.

2 komentar: