BAB II
PEMBAHASAN
Indonesia pernah menerapkan beberapa sistem
pemerintahan, dua diantaranya adalah sistem pemerintahan demokrasi parlementer
serta demokrasi terpimpin. Sistem pemerintahan demokrasi parlementer atau yang
juga disebut sebagai demokrasi liberal terjadi selama tujuh masa kabinet yang
berbeda, dimulai pada tahun 1950, tepatnya pada tanggal 6 September 1950 pada
masa kabinet Natsir sampai dengan pertengahan tahun 1559, 10 Juli 1959 pada
masa kabinet Djuanda atau yang uga dikenal sebagai Kabinet karya).
Demokrasi
terpimpin/demokrasi presidensial dimulai pada tanggal 6 Juli 1959 sampai dengan
tanggal 1 Maret 1966. Demokrasi terpimpin dimulai sejak Dektrit Presisden
tanggal 9 Juli 1959 diumumkan oleh presiden Soekarno. Dektrit Presiden 9 Juli
1959 berisikan:
1. Pembubaran
Konstituante.
2. Tidak
berlakunya UUDS 1950, dan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai UUD resmi Negara
Repubik Indonesia.
3. Pembentukan
MPRS dan DPAS dalam tempo secepatnya.
Pemberlakuan
Dektrit Presiden 9 Juli 1959 menandakan berakhirnya sistem demokrasi
parlementer dan digantikan dengan sistem demokrasi presidensial. Selain itu,
Dektrit Presiden 9 Juli 1959 juga menandakan berakhirnya tugas konstituante
selama tiga tahun gagal merancang UUD yang baru untuk menggantikan UUDS.
Kondisi politik
di Indonesia pada masa demokrasi parlementer tidaklah stabil, pertentangan dan
pemberontakan banyak terjadi. Hal ini disebabkan jumlah partai politik dengan idealisme
yang berbeda semakin banyak, sehingga menimbulkan faksi-faksi pada
pemerintahan. Kondisi politik yang tidak stabil dapat dilihat dari hasil kerja
kabinet yang tidak maksimal, contohnya pada masa kabinet Natsir yang memiliki
lima program kerja dan yang tercapai hanya dua, yaitu meningkatkan keamanan dan
ketertiban dengan tergabungnya Indonesia dalam PBB dan memetakan politik luar
negeri yang bebas aktif, serta memperjuangkan wilayah Irian Barat dengan cara
berunding dengan Belanda. Pada tiap kabinet program kerja yang selau ada dan
tidak pernah tercapai adalah program untuk memperjuangkan pembebasan Irian
Barat. Selain kondisi politik yang tidak stabil, kondisi di dalam konstituante
juga tidak mendukung tercapainya kesepakatan dalam membuat Undang-Undang Dasar
yang baru. Ketidaksepakatan di dalam konstituante terjadi karena ada tiga kubu
yang memiliki pendapat yang memiliki berten-tangan, ketiga pilar yang ada di
dalam badan konstituante antara lain partai Islam (Nadratul Ulama/NU), partai
Nasionalis (Partai Nasionalis Indonesia/PNI), dan partai Komunis (Partai
Komunis Indonesia/PKI).
Kondisi ekonomi
di Indonesia pada masa demokrasi parlementer sempat mengalami beberapa
perubahan kebijakan. Perubahan kebijakan dimulai pada masa Kabinet Sukiman. Perubahan
yang dilakukan ialah menasionalisasi de
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, membentuk Bank Negara Indonesia
(BNI), memberlakukan Oeang Repoeblik Indonesia atau yang disebut ORI, serta
mengajak rakyat Indonesia untuk menabung di bank. Keputusan-keputusan yang
diambil memberikan dampak yang baik dan meningkatkan dan memperlancar kondisi
perekonomian negara. Selain kebijakan di atas, pada masa Kabinet Ali II, presiden
Soekarno menandatangani UU Pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal
3 Mei 1956 dan mengakibatkan seluruh perusahaan Belanda berpindah ke tangan
pengusaha nonpribumi (tionghoa), sayangnya berdampak pada munculnya kondisi
sosial yang timpang. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tanggal 19 Maret
1956 dikeluarkan sebuah kebijakan yang dinamakan Gerakan Assaat oleh Kongres
Nasional Importir Indonesia. Gerakan Assaat mendorong pemerintah untuk mengeluarkan
peraturan untuk melindungi pengusaha pribumi.
Pada masa
demokrasi terpimpin, kondisi politik menjadi lebih terkontrol. Pembubaran
kabinet digantikan dengan Kabinet Ketja, dengan presiden Soekarno sebagai
perdana menteri dan Ir. Djuanda sebagai wakilnya. Sistem kabinet yang sebelumya
menganut sistem kabinet parlementer menjadi sistem kabinet presidensial.
Program kerja kabinet yang disusun oleh presiden Soekarno meliputi keamanan
dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan peningkatan produksi sandang pangan.
Presiden juga menetapkan bahwa semua lembaga negara harus berasal dari aliran
NASAKOM (nasionalis, agama, dan komunis) dan anggota MPRS (Majelis Perwakilan
Rakyat Sementara) akan ditunjuk dan diangkat oleh presiden Soekarno dengan
syarat orag tersebut menyetujui kembali UUD 1945, menyetujui perjuanganan
Republik Indonesia, dan menyetujui Manifesto Politik. Selain membentu MPRS,
presiden Soekarno juga membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Dewan
Perancangan Nasional (DEPERNAS), dan Front Nasional. Pada upacara Peringatan
Hari Proklamasi 17 Agustus 1959, Soekarno mengucapkan pidatinya yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang berisikan penjelasan dan
pertanggungjawaban atas Dektrit Presiden 5 Juli 1959 serta garis kebijaksanaan
presiden Soekarno dalam mencanangkan demokrasi terpimpin. Pada September 1959,
DPA dalam sidangnya menyarankan presiden Soekarno untuk menjadikan pidato
“Penemuan Kembali Revolusi Kita” sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
dengan nama Manifesto Politik Republik Indonesia (MANIPOL) dan MANIPOL
ditetapkan sebagai GBHN pada tahun 1960. Pada 6 Maret 1960, MPR hasil Pemilu
tahun 1955 dibubarkan dan digantikan dengan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong) yang dibentuk pada tanggal 24 Juni 1960. Tugas DPR-GR adalah
melaksanakan MANIPOL dan merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA).
Beberapa kebijakan Seokarno yang memiliki tujuan yang mulia pada akhirnya
menyerang dan menjatuhkan kondisi politik Indonesia, contohnya kebijakan
NASAKOM yang bertujuan untuk menyatukan seluruh lembaga negara dijadikan PKI
sebagai salah satu jalan untuk mengambil alih kekuasaan Indonesia.
Kondisi ekonomi
pada masa demokrasi terpimpin menurun. Hal ini disebabkan diberlakukannya
“Sistem Lisensi” yang mengharuskan seseorang memiliki/mendapatkan lisensi atau
izin khususi pemerintah untuk melaksanakan kegiatan perekonomian, terutama
impor. Pada tanggal 23 Maret 1963, Soekarno mengumumkan Deklarasi Ekomoni atau
yang juga dikenal sebagai DEKON untuk membuat peraturan mengenai ekspor-impor
dan masalah penetapan harga, sayangnya DEKON tidak berdampak banyak. Keadaan
ekonomi di Indonesia semakin memburuk sehingga terjadi inflasi yang sangat
tinggi pada tahun 1959, sehingga dikeluarkan beberapa kebijakan ekonomi seperti
devaluasi pecahan mata uang rupiah Rp. 1000 menjadi Rp. 100 dan Rp. 500 menjadi
Rp. 50; membekukan simpanan uang di bank seluruh Indonesia. Kondisi
perekonomian Indonesia terus menurun, hal ini disebabkan oleh banyak faktor
salah satu yang paling mempengaruhi adalah diberlakukan beberapa kebijakan yang
didasarkan pada kebijakan-kebijakan presiden dan kebijakan yang didasari oleh
undang-undang. Kondisi perekonomian Indonesia terus mengalami kemunduran hingga
tahun 1966.
menarik :D great work!
BalasHapustampilan blog yang menarik dan isi yang bermutu.. amazing! :)
BalasHapus